Oleh: Alfius Sabon
Sebagian orang menganggap guru itu adalah sebuah
profesi yang melelahkan tanpa gaji yang besar. Profesi yang gajinya tak cukup
untuk membeli sebuah mobil yang mewah. Guru hanyalah sebuah kata sederhana tapi
arti keberadaannya tak sesederhana kata yang dimilikinya.
Terdapat sebuah film yang diadopsi dari buku yang
diterbitkan tahun 1999 yang berjudul “The Freedom Writers Diary”. Film itu
berjudul “Freedom Writers”, yang disutradarai oleh Danny Devito, Michael
Shamberg, Stacey Sher. Di film ini menceritakan tentang perjuangan seorang guru
dalam menghadapi sebuah kelas yang di mana muridnya serba tak terarah dan
teratur.
Keadaan murid-muridnya yang mempertaruhkan nyawa
mereka demi melindungi sesama rasnya. Pembunuhan dan penembakan yang beredar di
mana-mana, yang tak jarang akan merenggut nyawa mereka setiap saat. Mereka
hidup dalam kebencian, balas dendam, saling membentuk geng, permusuhan antara
siswa yang berkulit hitam dengan yang berkulit putih, bahkan saling membunuh.
Nah anak-anak inilah yang dihadapi guru tersebut di dalam kelas.
Berbagai metode pengajaran yang diajarkannya untuk
merubah mindset siswa-siswanya bahwa siswanya itu istimewa. Siswa-siswa yang
tidak memiliki asa untuk menatap masa depan, di otak mereka itu hanyalah
bagaimana mereka bisa hidup lebih lama. Guru yang harus bekerja paruh waktu ke
dalam 3 pekerjaan untuk membelikan buku kepada siswa-siswanya, guru yang tak
didukung oleh kepala sekolahnya, dan bahkan dia harus kehilangan suami yang
sangat dicintainya demi siswa-siswanya.
Berbagai cara dilakukannya agar pendidikan itu
terserap oleh siswanya, agar siswanya menyadari bahwa apapun dan bagaimanapun
masa lalu mereka, anggap itu sudah usai. Tak henti-hentinya dia memberikan
penguatan kepada siswa-siswanya. Dan pada akhirnya dia sangat dicintai oleh
siswa-siswanya bahkan juga murid yang bukan berasal dari kelas itu. Siswa di
kelas lain pindah ke kelas guru tersebut, karena mereka tertarik dengan
pengajaran yang diajarkan oleh guru tersebut.
Di lingkungan kita hal seperti itupun terjadi, banyak
siswa yang kurang memperhatikan gurunya saat belajar, dengan membawa masalah
masing-masing ke sekolah. Berbagai polemik bisa saja muncul di sekolah. Jarak
antara sekolah dengan rumah, gaji yang sedikit merupakan salah satu faktor yang
menghambat kinerja guru sekarang ini.
Hal itu tidak dipungkiri jika mereka kadang tak
optimal melakukan pekerjaannya, karena sekarang ini segalanya memerlukan uang
tapi ketika menelusuri jauh ke dalam fungsi kita sebagai guru maka hal tersebut
bukanlah sebuah kendala yang berarti untuk tetap mendedikasikan seluruh waktu,
pikiran dan tenaganya untuk peserta didiknya. Ketika dedikasi tinggi itu sudah
tertanam di hati seorang guru maka yakin dan percaya kesuksesan bangsa akan
semakin digenggam. Peserta didik kita akan menjadi benih-benih yang akan tumbuh
menjadi pundi-pundi aset negara.
Oleh karena itu, mari kita beri apresiasi
setinggi-tingginya bagi para guru se-Indonesia yang telah bersusah payah
mendidik dan menyiapkan generasi cerdas masa depan. Mereka layak mendapat tanda
kehormatan sebagai pejuang pendidikan bangsa.
------------------------------------------------------------------------
Secara khusus bagi para guru SD Inpres
Watobuku-Lamakera, yang telah menyiapkan ruang belajar kreatif. Semangat,
kreatifitas dan dedikasi mereka yang tak luntur demi menciptakan ruang belajar
kreatif dan inovatif bagi muridnya patut diberi apresiasi. Semboyan yang
melekat dalam diri mereka "pantang pulang sebelum berhasil" menjadi
nutrisi penyemangat dikala lelah. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga dan
biaya agar tersedianya ruang belajar yang layak bagi anak-anak di Lamakera.